nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

Purnama

Kala itu waktu masih menunjuk pada angka dua dini hari. Sudah menjadi kebiasaanku selama beberapa tahun menjadi seorang santri untuk bangun menemui Sang Khalik. Waktu yang mustajab untuk memanjat doa-doa yang diharapkan.

Kata seorang Ustaz di Pesantren tempatku menuntut ilmu, di waktu itu Allah menunggu seorang hamba untuk menemui-Nya sekedar meminta dan memohon. Waktu dimana orang jauh memilih untuk terlelap. Waktu indah memadu kasih dengan Sang Pemilik Kehidupan.

Seperti dua hari sebelumnya, aku keluar rumah menatap purnama yang begitu murah hati memancarkan keindahannya. Meski berulang kali melihatnya, pesona purnama tak pernah pudar. Selalu mampu memikat setiap mata yang memandangnya.

Purnama biasanya akan memancar indah selama tiga malam di tanggal 13,14, dan 15 di bulan Hijriah. Bagi umat Islam, tanggal tersebut bukan sekadar adanya purnama yang merupakan panorama alam, tetapi juga adanya amalan sunah untuk melakukan puasa Ayyamul Bidh (Hari Putih). Disebut hari putih karena pada malam itu bulan memancarkan sinar putihnya. Puasa yang mendapatkan pahala bagaikan puasa sepanjang tahun.

Selama satu jam aku menikmati keindahan purnama di hari terakhir, suara telepon rumah berdering tanda panggilan masuk. Meski merasa aneh dengan waktu yang masih memperlihatkan dini hari. Mungkin ada hal yang sangat penting hingga waktu selarut ini ada yang menelepon.

Kulihat ibuku sudah menggenggam telepon dan kemudian meletakkannya di tempat semula dengan tatapan kesedihan. Aku menghampiri dan bertanya lewat tatapan mata.

"Dia dipanggil. Orang yang selalu kamu tanyakan dua bulan terakhir sudah dipanggil menghadap Allah."

Luruh seketika deraian air mata. Kerinduan yang mendalam dibalas dengan kepergian. Dia adalah sahabat sekaligus saudara sepupu yang selama ini selalu menjadi teman berbagi cerita melalu surat-surat yang dititipkan kepada Pak Pos.

Jarak yang memisahkan kita dengan perbedaan kota membuat kita tidak bisa bercakap setiap saat. Dua bulan menghilang, tak pernah membalas surat yang selalu ku kirim. Tak pernah juga bisa dihubungi melalui telepon karena waktu itu dia belum memilikinya.

Aku menanti dan penantian ini berujung dengan perpisahan. Pada malam itu, purnama bukan hanya tentang keindahan dan amalan istimewa bagiku. Tapi purnama menjadi awal perpisahan yang selalu meninggalkan jejak kenangan kesedihan.

Sepuluh tahun berlalu. Purnama tetap hadir dengan seribu kenangan. Aku hanya mampu mengucap rindu pada tatapan purnama yang selalu memancar. Semoga kau damai di sana.

Related Posts

0 komentar