nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

Mengenang Bapak: Cerita Dibalik Telepon Rumah



40 hari sudah Bapak meninggalkan kami. Tak hentinya doa-doa terus dikirimkan untuknya. Hanya doalah yang menghubungkan kerinduan kami saat ini.

Banyak kisah yang terukir, berputar tanpa diminta mengingatkan kisah lalu yang memenuhi sudut memori. Ada satu kisah yang ingin kutuliskan. Semoga menjadi amal jariyah untuk Bapak. Semoga semua kebaikan yang kulakukan sekarang, mengalir pahalanya kepada Bapak.

Aku mengingat kembali kejadian silam waktu masih jaman SMP. Dulu, alat komunikasi berupa telepon rumah masih hanya sebagian orang yang memiliki, handphone juga sama hanya orangtua yang banyak menggunakan, untuk anak-anak masih belum begitu banyak yang difasilitasi. Sebelum memiliki Handphone, Bapak menggunakan Pager (Pijer Motor*la). Baru sekitar aku kelas 4 SD, Bapak beli Handphone. Biasanya aku cukup pinjam HP Bapak, itupun hanya untuk main game ular panjang, HP canggih pada zamannya. hehehe... 

Nah waktu aku masuk SMP, Bapak memberikan hadiah Handphone padahal aku tak pernah meminta. Tak lama kemudian, Bapak pasang telepone rumah, senangku semakin bertambah. Terbayang dalam pikiran, bebas telpon teman-teman tanpa pakai pulsa sendiri jadi bisa irit pulsa.

Namun, rasa senang itu hanya sebentar, karena Bapak ngasih tugas rutin, tugas yang membuatku sebal. Setiap jumat pagi dan ahad siang, aku wajib menelpon untuk mengingatkan ustadz-ustadz pembicara yang mengisi jadwal khutbah jumat atau pengajian rutin ahad. Selain mengingatkan, di hari lain kebagian juga meloby para ustad agar berkenan mengisi di masjid sesuai jadwal yang sudah Bapak tentukan. 

Rasanya tiap melewati hari bertugas selalu mendebarkan. Bagaimana tidak, aku masih SMP kinyis-kinyis harus berpikir tehnik meloby karena tuntutannya harus berhasil membuat ustadz-ustadz tersebut bersedia menjadi pengisi acara.

Awal-awal bertugas, ketika berbicara sering belepotan, makanya aku sampai menuliskan kalimat apa aja yang perlu kukatakan. Hitungan bulan berlalu, tugas rutin terus tertunaikan. Tapi, tetap saja setiap menelpon aku selalu berdebar dan takut. Apalagi kalau kebagian langsung mendatangi rumah sang ustadz tersebut karena number telpon tidak bisa dihubungi.

Tugas rutin itu terasa beban berat waktu itu. Apalagi tipe ustadz juga beragam, ada yang enak diajak berbicara hingga ada yang bikin aku kikuk sendiri. Semakin lama aku menjadi terbiasa dalam melakukan loby-meloby para ustadz. Bahkan ketika zaman SMA aktif di beberapa komunitas, aku selalu senang kalau kebagian berkomunikasi dengan orang lain.

Saatnya masuk kuliah, aku memilih ambil jurusan Ekonomi İslam waktu itu. Ketika ada beberapa tugas mata kuliah dan tugas organisasi yang berhubungan dengan loby-meloby, aku merasa senang karena merasa hal tersebut adalah hal yang biasa. Pernah mengikuti beberapa proyek juga bermodalkan kemampuan tersebut.

Selesai kuliah aku berkhidmah di Lembaga Amil Zakat. Saat itu tim masih itu-itu aja karena dalam masa perintisan. Tugas merangkap sebagai finance, Administrasi, Costumer Service yang melakukan phoneselling, dan bagian lainnya jika diperlukan. Lagi dan lagi kemampuan itu bermanfaat juga untuk berkomunikasi dengan para donatur ataupun calon donatur. 

Dulu, pekerjaan tersebut hal yang membuatku sebal. Sempat terpikir, kenapa sih kok Bapak tega banget ya menempatkan aku di posisi sulit. Melihat teman-teman sepertinya enak banget gak dapat beban apa-apa. Tapi, sekarang aku bersyukur pernah melalui masa tersebut. Karena darinya aku belajar banyak hal yang ternyata bermanfaat untuk kehidupanku hingga saat ini aku tinggal di Negeri Dua Benua.

Akupun jadi terinspirasi dalam ilmu parenting. Buat para orangtua yang sedang berjuang mendidik anak-anaknya menjadi pribadi baik, jangan pernah merasa menjadi orangtua yang jahat ketika kita menempatkan posisi sulit (Dalam hal positif) pada anak-anak kita. Tidak akan selamanya anak-anak berlindung dalam dekapan nyaman orangtua.

Biarkan mereka belajar menghadapi kesulitan, karena melalui kesulitan mereka akan menemukan senjata ampuh untuk pertahanan dirinya.

Terimakasih Pak, ternyata tugas rutinku dulu menjadi bekal berharga dalam setiap kehidupan sosialku. Semoga setiap kebaikan yang kulakukan, menjadi hadiah pahala yang mengalir buat Bapak karena telah mengajarkan ilmu yang sangat bermanfaat.




Related Posts

0 komentar