nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

Mengelola Sebuah Rasa, Bernama Kesedihan



Sejak kepindahan kami ke Turki 4 bulan yang lalu, anak-anak mulai mengenal sebuah rasa baru yang terkadang mereka sulit mendefinisikan perasaan apa yang sedang mereka rasakan. 

Menangis karena rindu dengan keluarga, menangis karena ingin memiliki teman, menangis karena menjalani hari yang tak mudah dilewati atau menangis karena mereka bingung hati terasa sesak tapi tak tahu sebabnya karena apa. 

"Aku selalu sedih."
"Aku tak ingin terus sedih, tapi aku gak bisa."
"Aku gak mau tinggal di sini, aku ingin pulang aja ke İndonesia biar aku gak sering sedih."

Kata-kata serupa seperti ini nih yang sering mereka ungkapkan selama 2 bulan awal kami di sini. Bagaimana sikapku? Ya beragam tergantung tingkat ke-melow-an hatiku. Hehe..

Sering terbawa suasana ikutan sedih dan nangis, kadang menguatkan supaya kita berjuang sama-sama kuat, atau kadang jengah dengan mereka yang setiap hari terus menangis. 

Di saat jengah itu aku berpikir bagaimana menghentikan kondisi seperti ini. Bagaimana pun sangat berpengaruh kepada suasana hatiku.

Oke, aku mulai menata diri. Membentuk mindfullness bahwa kesedihan ini adalah hal yang sangat wajar dirasakan anak-anak bahkan aku yang sudah dewasa.

Sedih itu boleh kok, wajar kita rasakan. Tapi, kita gak boleh berlebihan larut dalam kesedihan. İngat, ada lho dalam Al-Quran. 'La Tahzan İnnallaha Ma'ana. Jangan bersedih karena Allah bersama kita'.

Terus gimana dong cara menghilangkan sedih? Gak usah diusir apalagi dihilangkan. Ya gak apa-apa kita harus menerima kesedihan itu, kalau mau sedih ya sedih aja, misal karena kangen keluarga terus nangis ya ga apa-apa nangis aja, tapi jangan hanya sedih aja. Ketika sedih, langsung ekspresikan kesedihan tersebut dengan memanjatkan doa-doa yang terbaik.

Akhirnya, kami sepakat setiap kami sedih, selalu saling mengingatkan. 'Ekspresikan kesedihan melalui doa'.

Kami berhasil melewati kesedihan, bukan tak lagi sedih. Tapi, kami mulai mampu mengelola rasa sedih itu menjadi doa-doa yang panjang. Horeeee bahagianya, melewati ujian sekaligus memiliki pemahaman baru. Jadi istilah kehidupan adalah guru terbaik itu benar adanya ya.

Tepatnya 1 hari yang lalu, Selasa 06 Juli 2021. Allah memberikan kesedihan besar yang begitu dalam. Serasa tak menapak bumi dan jiwaku melayang. Meninggalnya sosok Bapak untukku dan Kakek untuk anak-anak. Allah... Rasanya sedih yang sangat mendalam.

Seharian kemarin sejak subuh sampai malam, berlanjut sampai tadi siang aku terus menangis. Beraktifitas mengurus anak-anak, tapi setelahnya ingat Bapak dan kembali menangis. Bak film yang terus berputar, memoar itu tak mau berhenti.

Ketika aku menyiapkan makanan, 'Jangan pernah menyia-nyiakan makanan, banyak orang lain jangankan makan, punya makanannya aja nggak.' 

Ketika masuk kamar mandi, 'Jaga kebersihan kamar mandi jangan jorok'.

Ketika lihat gelas tergeletak di ruang tamu bekas Muadz, 'Jangan simpan gelas sembarangan. Simpan barang di tempat seharusnya."

Ya Allah, dalam segala aktifitas ucapan-ucapan yang dulu dianggap hal biasa malah terus muncul. 

Ketika aku menulis sekarang, aku sedang dikondisi sudah mulai bangkit meski tetap ditemani deraian air mata. 'Harus kuat, harus kuat. Bukan harus sedih tapi harus bahagia bisa merasakan tinggal di Turki, karena gak semua orang diberi Allah kesempatan seperti kalian.' ucapan Bapak kembali menelusup dalam ingatan kala aku mengeluh gak betah di sini.

Aku kembali tersadarkan dengan nasihat yang selalu kuucapkan kepada anak-anak, yang ternyata nasihat itu untuk diriku sendiri. Begitupun dengan sekarang, aku boleh sedih Bapak kembali ke pangkuan Allah tapi harus bahagia melihat Bapak pulang dengan wajah bersih dan bersinar.

Aku boleh sedih, tapi jangan sampai berlarut dalam kesedihan yang sia-sia. Setiap aku sedih, kudoakan Bapak agar di alam sana tenang. Keyakinan yang dalam hanya doa-doa dari anak yang shalehlah yang akan menjadi penghubung aku dan Bapak saat ini.

Turki, 07 Juli 2021

Related Posts

0 komentar