nav#menunav { border-bottom: 1px solid #e8e8e8; }

Menanamkan Rasa Cinta kepada Al-Quran Dalam Diri Anak-Anak

Selalu merasa exited ketika melihat seseorang yang memiliki bacaan indah ketika membaca Al-Quran, terlebih sampai hafal Al-Quran. Apalagi kalau seseorang itu masih usia anak-anak, merinding dan merasakan buncahan kagum yang luar biasa. 

Ketika satu saat mendapat tawaran kesempatan bergabung di lingkungan pesantren penghafal Al-Quran, tanpa fikir panjang aku menerimanya meski saat itu sedang membidik program pasca sarjana yang sudah menjadi incaran. Alasan terkuat melihat lingkungan yang sangat potensial untuk perkembangan sosial anak-anak kelak.

Setiap kali menyaksikan para santri yang berbahagia telah melaksanakan munaqosyah dan khatam dalam menghafal Al-Quran, binar-binar bahagia mereka ikut merasuk dalam diri hingga rasa haru menyelinap. Bahkan ketika setiap acara wisuda dan melihat mereka berjalan di atas panggung mendapat penghargaan dengan sejumlah hafalan yang mereka raih, air mata selalu merembes bombay. Haru, kagum, merinding, dan jutaan emosi kebahagiaan lainnya melebur dalam setiap tetesan air mata.

"Nak, jadikan Al-Quran sebagai akhlak yang senantiasa menghiasi perjalananmu ya." Selalu kata itu yang kusematkan ketika setiap penghujung tahun harus berpisah dengan para santri yang telah melalui 'fase mondok'.

Harapan yang kuat itu pun menjadi ekspektasi yang tinggi terhadap ketiga anakku; Syakira, Mu'iz dan Mu'adz. Namun, ekspektasi itu tentu harus berbanding lurus dengan ikhtiar yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan.

Sejak lahir sampai usia belajar mengucapkan kata per kata yang keluar dari mulut kecilnya, Syakira, Mu'iz dan Mu'adz terbiasa mendengarkan Al-Quran, juga terbiasa melihat proses bagaimana para santri menghafalkan Al-Quran. Bahkan di saat bermain pun mereka seringkali menyematkan hafalan Al-Quran dalam setiap percakapan. Misal sedang bermain peran antar teman atau bermain boneka.

Namun, pada satu masa, Syakira dan Mu'iz menginjak usia pendidikan sekolah. Hal yang terjadi di luar perkiraan dan ekspektasi, aktifitas menghafal Al-Quran bukanlah hal yang membuat mereka merasakan exited ketika menjalaninya. Akhirnya, mereka tidak mengikuti target pembelajaran yang sudah ditetapkan oleh lembaga sekolah. 

Jujur sih, ada saat aku merasa insecure dengan kondisi anak-anak yang seperti ini. Apalagi masalahnya bukan karena kemampuan menghafal mereka yang kurang, tapi minat dan keinginan mereka terhadap menghafal Al-Quran belum muncul.

Aku sering bertanya kepada diri sendiri, "Apa mungkin aku yang gak pandai mendidik anak-anak terlebih aku pun bukan seorang hafizhah?" Ah, tapi kan orang tua lain juga banyak kok yang bahkan hanya hafal surat pendek saja tapi anaknya pada bisa kok. Atau sering juga berpikir, "Ah mungkin anak mereka pada penurut, di suruh ngafal ya mau aja." Suara lain kembali menyanggah, emang anakku ga pada nurut? Karena penurut itu ya relatif. Ada masa anak akan mengikuti mau kita, tapi pada waktu tertentu ada keinginan anak yang bertolak belakang dengan keinginan kita. Wajar sih, namanya juga manusia pasti memiliki keinginan.

Namun, perenungan panjang itu aku menemukan sebuah jawaba. Bahwa Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Mungkin Allah sedang mengajarkan aku untuk menemukan metode lain agar anak-anak merasa excited berinteraksi dengan Al-Quran.

Bismillah.. Petualangan akan dimulai..


Bekasi, 2020


Related Posts

0 komentar